![]() |
Uli Magfiroh |
Berjama’ah seringkali dimaknai oleh kebanyakan orang secara
sempit, padahal jama’ah tidak sebatas di dalam sholat. Kata jama’ah berasal
dari Bahasa Arab (fi’il madli) jama’a yang artinya adalah berkumpul, menyatu,
menyusun. Jama’ah dalam Tafsir al Maraghi diartikan sebagai kumpulan individu
yang mempunyai ikatan yang terhimpun menjadi satu, dan dianalogkan sebagai
anggota tubuh dalam satu bangunan tubuh manusia.
Jama’ah mengandung makna yang sangat luas. Manusia telah
ditakdirkan oleh Tuhan semesta alam sebagai makhluk individu dan makhluk
sosial. Untuk menjalankan fitrohnya sebagai makhluk sosial, hidup berjama’ah
adalah suatu keniscayaan. Karena, manusia itu tidak dapat hidup tanpa manusia
yang lain.
Selain sebagai keniscayaan, hidup berjama’ah itu merupakan
kodrat manusia yang dianugerahkan Allah, sebagaimana telah tertulis dalam QS.
An Nisaa’ ayat 103 “dan berpegang teguhlah kalian pada tali (agama) Allah dan
janganlah kamu bercerai-berai. Berdasarkan pada firman Allah Swt itu manusia
harus menjalankan tugas sebagai makhluk individu, yaitu hubungan manusia dengan
Allah (hablun min Allah) tugas manusia sebagai makhluk sosial, yaitu hubungan
manusia dengan manusia (hablun min Annas).
Dan jama’ah harus dimaknai secara luas, manusia memiliki
kebutuhan yang harus dipenuhi, maka saling bersinergi untuk memenuhi kebutuhan
satu dengan yang lain merupakan salah satu fungsi jama’ah. Bersinergi itu
apabila manusia satu dengan yang lainnya saling melengkapi untuk menngapai
cita-cita yang besar.
Contoh bersinergi yang menghasilkan sesuatu yang lebih
besar, suatu lembaga keorganisasian memiliki banyak kader yang berbeda latar
belakang, baik suku, ras, bahasa maupun agama. Menjalin tali kerjasama untuk
mencapai tujuan besar dengan para kader yang berbeda latar belakang itu
bukanlah hal mudah. Namun, menggunakan prinsip sinergis dalam menjalin hubungan
adalah salah satu alternatif yang bisa ditempuh.
Menggunakan prinsip sinergis ini bisa dengan cara
memperhatikan keahian (passion) tiap kader terlebih dahulu. Dan kemudian
melakukan kegiatan-kegiatan yang mampu menopang semua aspek yang dibutuhkan
dalam suatu kelembagaan untuk mencapai tujuan besarnya.
Berjama’ah dalam konteks khusus yang berdasarkan pada sudut
pandang Islam, memiliki sebuah konsepsi. Sungguh Islam telah hadir dan
menyatakan konsepsinya tentang hidup berjama’ah, bahwa setiap muslim dengan
muslim lain adalah saudara. Banyak dalil yang menjadi fundamen dari konsepsi
ini, baik dari al-Qur’an maupun as-Sunnah.
Hadis riwayat Bukhari mengatakan, “mukmin satu dengan mukmin
lainya bagaikan bangunan yang sebagiannya mengokohkan bagaian lainya.” Keimanan
dan keislaman seseorang dapat diukur dari kehidupan seorang muslim dengan
muslim lainya. Kata ukhuwahlah yang sering disebut di dalam Islam.
Ukhuwah adalah salah satu dari tiga bagian kekuatan Islam
pada masa masyarakat Islam zaman Muhammad. Setelah kekuatan iman dan aqidah,
barulah disebut kekuatan ukhuwah atau persaudaraan atau ikatan hati. Tentu
kekuatan ukhuwah sangatlah pennting dan sangat perlu dipraktekan, baik di era
Rasulullah maupun zaman sekarang ini.
Mengingat hebatnya kekuatan ukhuwah, pada era Rasulullah
yang berhasil mempersaudarakan kaum Anshar dengan kaum Muhajirin perlu kita
jadikan landasan untuk kehidupan berjama’ah. Kaum Anshar adalah kaum muslim
asli Madinah, dan Kaum Muhajirin adalah kaum muslim yang berhijrah dari tempat
lain ke Madinah.
Meraka sangat memahami makna ukhuwah, hal ini dapat
dibuktikan dengan sambutan hangat kaum Anshar ketika ada Muhajirin yang datang
ke Madinah. Kaum Anshar saling berebut karena ingin menjamu Kaum Muhajirin atau
pendatang. Kaum Anshar tidak memandang kesusahannya sendiri, walaupun dalam
keadaan kekurangan bahkan fakir sekalipun, mereka tetap menjamu Kaum Muhajirin
sepenuh hati.
Ada rasa decak kagum dalam hati, melihat sikap Kaum Anshar
yang sangat baik serta unik. Dan pasti akan ada pertanyaan, kenapa Kaum Anshar
sampai berbuat hal demikian? Apa untungnya Kaum Anshar melakukan itu? Sungguh
sikap Muslim Anshar ini di luar batas kemampuan manusia!
Namun, Allah telah menjawab pertanyaan ini melalui
firman-Nya dalam QS. Al-Hasyr ayat 9, yang artinya “dan orang-orang (Anshar)
telah menempati kota Madinah dan menempati keimanan (beriman) sebelum
kedatangan mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshar) tiada menaruh keinginan
dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin) dan
mereka mengutamakan (Muhajirin), atas diri mereka sendiri sekalipun mereka
dalam kesusahan.”
Begitulah sikap muslim Anshar terhadap Muslim Muhajirin,
mereka tetap mengutakan kaum Muhajirin dalam keadaan apapun, dalam keadaan baik
maupun kesusahan. Tidak perlu menunggu kaya kalau hendak bersedekah, tidak
perlu menunggu tua kalau hendak mati, dan tidak perlu menunggu mampu dan
bahagia kalau hendak menolong. Islam telah menjelaskan salinglah tolong
menolong antara satu dengan yang lain dalam kebaikan.
Hidup berjama’ah dan paham tentang jama’ahnya bukanlah hal
yang mudah. Dalam berjama’ah tidak jarang muncul konflik antara individu satu
dengan individu yang lain. Berkenaan dengan konflik antar individu adalah hal
yang manusiawi. Karena setiap individu di dalam jama’ah itu memiliki latar
belakang dan gagasan yang berbeda-beda.
Hidup berjama’ah membutuhkan tingkat kepekaan yang tinggi
atau kecerdasan emosional. Banyak orang yang baik kecerdasan memorialnya,
kecerdasan kinestiknya, kecerdasan musikalnya; akan tetapi rendah dalam
kecerdasan emosional. Maka, hidup berjama’ah dapat melatih dan meningkatkan
kecerdasan emosional.
Salah satu cara mencegah adanya konflik dalam hidup
berjama’ah adalah menghilangkan rasa egois, secara perlahan seseorang harus
lebih mengutamakan kepentingan khalayak umum, ketimbang kepentingan pribadi.
Berusaha menerima dan memahami perbedaan antara individu satu dengan yang
lainnya. Mari berislam secara kaffah dengan jama’ah, bertemanlah lebih dari
saudara dalam ikatan jama’ah. Wallahu A’lam Bi Al Shawab.
Oleh: Uli Magfiroh, Aktivis GPII (Gerakan Pemuda
Islam Indonesia) dan Ketua Kohati (Korps-HMIwati) HMI Korkom Walisongo
Semarang.