Dengan sanantiasa mengingat nasihat
Rasulullah, “Bagi orang yang hajinya mabrur, balasanya adalah surga”. Menjadi
haji mabrur yang jaminanya surga adalah cita-cita utama bagi orang yang
beribadah haji di seluruh dunia pada Zulhijah ini. Tapi, dari jutaan jamaah
haji itu, seberapa banyak orang yang hajinya mabrur? Apakah hajinya seorang
tukang bubur yang pasti menjadi haji mabrur ataukah hajinya para pejabat yang
pasti menjadi mabrur. Tentu tidak, bukan jabatan atau profesi yang menjadi
tolok ukur mabrur tidaknya sebuah ibadah. Semua dikembalikan kepada hati
masing-masing dan hanya Allah-lah yang tahu.
Gambaran haji mabrur terdapat dalam
sepenggal kisah berikut; “Di sebuah desa terdapat penjual sandal dari kayu.
Orang ini sangat ingin berangkat haji sehingga selama bertahun-tahun ia
mengumpulkan uang hasil jualan sandal kayu itu. Setelah lama mengumpulkan
uang hasil jualan sandal kayu, dan ia rasa perbekalan sudah cukup ia segera
menunaikanan niatnya untuk berangkat haji. Namun di tengah perjalanan dia
melewati suatu daerah yang masyarakatnya sedang terserang wabah penyakit
sehingga tidak bisa bekerja dan tidak memiliki perediaan makanan untuk mereka
makan. Karena merasa iba, orang itu termenung dan menyerahkan bekal hajinya
untuk membantu masyarakat desa itu. Ia pun pulang, tidak jadi naik haji.”
Di tempat lain ada seorang ulama’ yang
zuhud sedang beribadah dan berdo’a kepada Allah. Dalam do’anya ia bertanya
kepada Allah “Ya Allah, dari sekian banyak orang yang beribadah haji berapakah
yang Engkau terima hajinya?”. Lalu Allah memberikan jawaban lewat malaikat
jibril: “Tak satupun di terima Allah. Tetapi, Allah telah menerima haji
seseoarang yang tidak berangkat haji”. Sang ulama’ pun terkejut, dan ingin
mengetahui siapakah orang itu. Lalu, Jibril menunjukan ciri-ciri orang itu,
dimana asalnya dan pekerjaannya apa.”
Ia pun segera mencari orang itu sesuai
ciri-ciri itu sesuai petunjuk jibril. Singkat cerita, ulama’ tersebut berhasil
menumukan penjual sandal kayu itu dan menanyakan sebab di terimanya ibadah haji
padahal ia tidak berangkat haji. Lantas penjual sandal itu menceritakan kenapa
ia tak jadi berangkat haji. Setelah mengetahui apa yang di lakukan penjual
sandal kayu itu, si ulama’ yang zuhud itu berkata “Berbahagialah kamu,
sesungguhnya dari sekian banyak hamba yang berhaji tahun ini, Allah hanya menerima
hajimu, haji mabrur saudaraku”.Pedagang itu heran bagaimana si ulama’ itu tahu.
Si ulama’ berkata: “ Jibril memberitahuku kala aku berdoa kepada Allah”.
Mengetahui hal itu si penjual sandal kayu bersujud dan senantiasa memuji Allah
dan setelah itu semakin rajin bersedekah dan beribadah kepada Allah”
Setidaknya ada beberapa pelajaran yang
dapat diambil. Masyarakat sedikit biaya yang harus dikeluarkan untuk ibadah
haji. Namun, tidak menutup kemungkinan seorang penjual sandal dapat mendapatkan
balasan seperti orang yang beribadah haji di Makkah. Bahkan benar-benar bisa ke
Makkah untuk beribadah haji dan suatu ibadah, namun dengan adanya keberangkatan
haji ada saja masalah-masalah dalam masyarakat yang timbul mulai hal terkecil
sampai hal terbesar komplit menjadi satu. Contoh saja pada masayarakat
Indonesia perdebatan gelar “Haji” masih di bicarakan dan mungkin pemanggilan
Mbah Kaji, Bu Kaji, Pak Kaji, Mas Kaji menjadi sesuatu yang diwajibkan.
Berniat haji harus ikhlas semata-mata
karena Allah. Tidak ada obsesi lain kecuali hanya ingin beribadah kepada Allah.
Maka ketika pulang dari Makkah tidak harus ada tuntutan mengganti panggilanya
dengan seorang “Haji” biarlah itu sudah menjadi suatu hal yang sudah lazim
untuk penduduk Indonesia khususnya. Tapi bukan itu yang menjadi tujuan utama
ibadah haji.
Makna Haji
Kepedulian sosial menjadi salah satu
makna yang terkandung dalam ibadah haji. Artinya seseorang yang berniat
menjalankan ibadah haji namun kehidupannya anatisosial, ibadah hajipun bisa
menjadi muspro. Artinya ibadah hajinya sia-sia dan tak ada artinya dimata
Allah. Sama halnya dengan saat kita berpuasa di bulan Ramadhan diwajibkan
untuk bisa menahan nasfsu dan perbuatan munkar dan ketika tidak bisa menahanya
maka puasanya akan muspro. Yang didapatkan hanyalah lapar dan dahaga.
Begitu pula dengan orang yang berniat
haji. Bila seseorang yang dalam kehidupan sehari-harinya tak punya kepedulian
sosial, sulit untuk mengharapkan haji yang mabrur. Dengan demikian, orang yang
bolak-balik ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji namun tidak mempunyai
kepedulian sosial, hajinya hanyalah muspro. Dia sebenarnya hanya
menghambur-hamburkan uang. Begitu dekat hubangan antara ibadah haji dengan
kepedulian sosial seperti kisah penjual sandal kayu yang rela menyedakahkan bekal
hajinya untuk sebuah desa yang dalam kesulitan hidup. Dan niat hajinya di
terima Allah sehingga ia menjadi satu-satunya orang yang diterima hajinya.
Kenapa kepedulian sosial menjadi ibadah
yang tingkat kewajibanya sangat ekstrem? Karena kepedulian sosial merupakan
spirit kehidupan bermasyarakat untuk menciptakan sebuah negri yang makmur dan
penuh magfiroh. Negri yang makmur dan penuh magfiroh ini hanya dapat didapatkan
jika semua masyarakat mempunyai kepedulian sosial tinggi maupun dengan
individu, sesama, antar komunitas,antar agama, ataupun antar ras-ras.
Ibadah haji adalah “penyucian” diri.
Pakaian ihram yang putih merupaka symbol kesederhanaan yang mengingatkan kita
kepada kain kafan yang akan di pakai jika kelak meninggal dunia. Itu
mengingatkan bahwa saat meninggal kelak tak akan ada yang di bawa kecuali
sehelai kain kafan dan amal soleh yang akan menyelamatkan kita. Menjadi haji
mabrur meniscahyakan harta kita halal dan di perolehdengan cara yang halal. Dan
bila manusia mencari harta yang tidak halal, maka hidupnya akan muspro.karena
syarat penting seseorang ingin hajinya mabrur. Harta yang di peroleh harus
halal. Allah tidak akan menerima hajinya jika mendapatkanya dengan cara
korupsi,manipulasidan lain-lain.
Dengan demikian substansi haji
sesungguhnya adalah sebuah upaya tranformasi kehidupan dari yang hitam menjadi
putih, dari yang gelap menjadi terang. Dari yang individual menjadi sosial.
Haji adalah sebuah penyadaran bahwa kita hidup di bumi untuk beribadah mencari
ridho Allah. Menjaga niat di setiap langkah kaki. Supaya hidup terjalani dengan
sejuta kemanfaatan. Jadi, tidak ada kata-kata muspro. Namun balasan surgalah
yang di nantikan kelak. Wallahu a’lam.
Oleh: Triana Sri
Hartati, Mahasiswi Ilmu Al-Qurán dan Tafsir UIN Walisongo Semarang