Haji; Surgo atau ‘Muspro’?

0


Dengan sanantiasa mengingat nasihat Rasulullah, “Bagi orang yang hajinya mabrur, balasanya adalah surga”. Menjadi haji mabrur yang jaminanya surga adalah cita-cita utama bagi orang yang beribadah haji di seluruh dunia pada Zulhijah ini. Tapi, dari jutaan jamaah haji itu, seberapa banyak orang yang hajinya mabrur? Apakah hajinya seorang tukang bubur yang pasti menjadi haji mabrur ataukah hajinya para pejabat yang pasti menjadi mabrur. Tentu tidak, bukan jabatan atau profesi yang menjadi tolok ukur mabrur tidaknya sebuah ibadah. Semua dikembalikan kepada hati masing-masing dan hanya Allah-lah yang tahu.

Gambaran haji mabrur terdapat dalam sepenggal kisah berikut; “Di sebuah desa terdapat penjual sandal dari kayu. Orang ini sangat ingin berangkat haji sehingga selama bertahun-tahun ia mengumpulkan uang hasil jualan  sandal kayu itu. Setelah lama mengumpulkan uang hasil jualan sandal kayu, dan ia rasa perbekalan sudah cukup ia segera menunaikanan niatnya untuk berangkat haji. Namun di tengah perjalanan dia melewati suatu daerah yang masyarakatnya sedang terserang wabah penyakit sehingga tidak bisa bekerja dan tidak memiliki perediaan makanan untuk mereka makan. Karena merasa iba, orang itu termenung dan menyerahkan bekal hajinya untuk membantu masyarakat desa itu. Ia pun pulang, tidak jadi naik haji.”

Di tempat lain ada seorang ulama’ yang zuhud sedang beribadah dan berdo’a kepada Allah. Dalam do’anya ia bertanya kepada Allah “Ya Allah, dari sekian banyak orang yang beribadah haji berapakah yang Engkau terima hajinya?”. Lalu Allah memberikan jawaban lewat malaikat jibril: “Tak satupun di terima Allah. Tetapi, Allah telah menerima haji seseoarang yang tidak berangkat haji”. Sang ulama’ pun terkejut, dan ingin mengetahui siapakah orang itu. Lalu, Jibril menunjukan ciri-ciri orang itu, dimana asalnya dan pekerjaannya apa.”

Ia pun segera mencari orang itu sesuai ciri-ciri itu sesuai petunjuk jibril. Singkat cerita, ulama’ tersebut berhasil menumukan penjual sandal kayu itu dan menanyakan sebab di terimanya ibadah haji padahal ia tidak berangkat haji. Lantas penjual sandal itu menceritakan kenapa ia tak jadi berangkat haji. Setelah mengetahui apa yang di lakukan penjual sandal kayu itu, si ulama’ yang zuhud itu berkata “Berbahagialah kamu, sesungguhnya dari sekian banyak hamba yang berhaji tahun ini, Allah hanya menerima hajimu, haji mabrur saudaraku”.Pedagang itu heran bagaimana si ulama’ itu tahu. Si ulama’ berkata: “ Jibril memberitahuku kala aku berdoa kepada Allah”. Mengetahui hal itu si penjual sandal kayu bersujud dan senantiasa memuji Allah dan setelah itu semakin rajin bersedekah dan beribadah kepada Allah”

Setidaknya ada beberapa pelajaran yang dapat diambil. Masyarakat sedikit biaya yang harus dikeluarkan untuk ibadah haji. Namun, tidak menutup kemungkinan seorang penjual sandal dapat mendapatkan balasan seperti orang yang beribadah haji di Makkah. Bahkan benar-benar bisa ke Makkah untuk beribadah haji dan suatu ibadah, namun dengan adanya keberangkatan haji ada saja masalah-masalah dalam masyarakat yang timbul mulai hal terkecil sampai hal terbesar komplit menjadi satu. Contoh saja pada masayarakat Indonesia perdebatan gelar “Haji” masih di bicarakan dan mungkin pemanggilan Mbah Kaji, Bu Kaji, Pak Kaji, Mas Kaji menjadi sesuatu yang diwajibkan.

Berniat haji harus ikhlas semata-mata karena Allah. Tidak ada obsesi lain kecuali hanya ingin beribadah kepada Allah. Maka ketika pulang dari Makkah tidak harus ada tuntutan mengganti panggilanya dengan seorang “Haji” biarlah itu sudah menjadi suatu hal yang sudah lazim untuk penduduk Indonesia khususnya. Tapi bukan itu yang menjadi tujuan utama ibadah haji.

Makna Haji   

Kepedulian sosial menjadi salah satu makna yang terkandung dalam ibadah haji. Artinya seseorang yang berniat menjalankan ibadah haji namun kehidupannya anatisosial, ibadah hajipun bisa menjadi muspro. Artinya ibadah hajinya sia-sia dan tak ada artinya dimata Allah.  Sama halnya dengan saat kita berpuasa di bulan Ramadhan diwajibkan untuk bisa menahan nasfsu dan perbuatan munkar dan ketika tidak bisa menahanya maka puasanya akan muspro. Yang didapatkan hanyalah lapar dan dahaga.

Begitu pula dengan orang yang berniat haji. Bila seseorang yang dalam kehidupan sehari-harinya tak punya kepedulian sosial, sulit untuk mengharapkan haji yang mabrur. Dengan demikian, orang yang bolak-balik ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji namun tidak mempunyai kepedulian sosial, hajinya hanyalah muspro. Dia sebenarnya hanya menghambur-hamburkan uang. Begitu dekat hubangan antara ibadah haji dengan kepedulian sosial seperti kisah penjual sandal kayu yang rela menyedakahkan bekal hajinya untuk sebuah desa yang dalam kesulitan hidup. Dan niat hajinya di terima Allah sehingga ia menjadi satu-satunya orang yang diterima hajinya.

Kenapa kepedulian sosial menjadi ibadah yang tingkat kewajibanya sangat ekstrem? Karena kepedulian sosial merupakan spirit kehidupan bermasyarakat untuk menciptakan sebuah negri yang makmur dan penuh magfiroh. Negri yang makmur dan penuh magfiroh ini hanya dapat didapatkan jika semua masyarakat mempunyai kepedulian sosial tinggi maupun dengan individu, sesama, antar komunitas,antar agama, ataupun antar ras-ras.

Ibadah haji adalah “penyucian” diri. Pakaian ihram yang putih merupaka symbol kesederhanaan yang mengingatkan kita kepada kain kafan yang akan di pakai jika kelak meninggal dunia. Itu mengingatkan bahwa saat meninggal kelak tak akan ada yang di bawa kecuali sehelai kain kafan dan amal soleh yang akan menyelamatkan kita. Menjadi haji mabrur meniscahyakan harta kita halal dan di perolehdengan cara yang halal. Dan bila manusia mencari harta yang tidak halal, maka hidupnya akan muspro.karena syarat penting seseorang ingin hajinya mabrur. Harta yang di peroleh harus halal. Allah tidak akan menerima hajinya jika mendapatkanya dengan cara korupsi,manipulasidan lain-lain.

Dengan demikian substansi haji sesungguhnya adalah sebuah upaya tranformasi kehidupan dari yang hitam menjadi putih, dari yang gelap menjadi terang. Dari yang individual menjadi sosial. Haji adalah sebuah penyadaran bahwa kita hidup di bumi untuk beribadah mencari ridho Allah. Menjaga niat di setiap langkah kaki. Supaya hidup terjalani dengan sejuta kemanfaatan. Jadi, tidak ada kata-kata muspro. Namun balasan surgalah yang di nantikan kelak. Wallahu a’lam.

Oleh: Triana Sri Hartati, Mahasiswi Ilmu Al-Qurán dan Tafsir UIN Walisongo Semarang

Tags

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !
To Top