Belakangan
ini, pandangan masyarakat tentang perempuan berada dalam pandangan negatif. Hal
ini karena penerimaan masyarakat tentang agama masih minim, memaknai sesuatu
hanya secara kontekstual saja. Mereka menganggap bahwa agama merupakan sesuatu
yang dapat diyakini dan dijadikan sebagai kebenaran yang tidak dapat dirubah.
Anggapan negatif tentang perempuan tersebut merupakan pandangan yang sudah
mengakar yang kemudian dijadikan sebagai pembenaran.
Banyaknya
teks Al-Quran yang bersinggungan dengan perempuan nampaknya menjadi titik
kontroversial yang mengakibatkan banyaknya penafsiran. Faktor penyebab
ketimpangan gender yang banyak dibahas di antaranya maraknya budaya patriarki
yang sudah lama menguasai dan kemudian menyusup masuk ke Islam lewat produk tafsir.
Selama mufassir dengan ideologi patriariki memenuhi ruang pembacaan maka kaum
wanita akan semakin termarjinalkan. Oleh karena itu, melakukan rekonstruksi
pandangan tafsir dengan interpretasi baru khususnya pada produk pembacaan yang
banyak menyudutkan kaum perempuan sangatlah dibutuhkan.
Dalam
hal ini, mufassir kontemporer banyak menanggapi beberapa karya, salah satunya
yaitu karya Buya Hamka dalam kitabnya “Tafsir Al-Azhar”. Tafsir ini yang banyak
dikatakan cukup egaliter terhadap perempuan, hal ini menjadi sumbangsih
terbesar dalam pembahasan baru mengenai ke-Al-Qur’anan.
Dalam
QS. An-Nisa ayat 1 yang berbunyi:
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ
مِّنْ نَّفْسٍ وَّاحِدَةٍ وَّخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا
كَثِيْرًا وَّنِسَاۤءً ۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ الَّذِيْ تَسَاۤءَلُوْنَ بِهٖ
وَالْاَرْحَامَ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا
Artinya:
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu
dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan istrinya; dan dari pada
keduanya Allah memperkembang-biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan
bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling
meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya
Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.”
Buya
Hamka dalam tafsirnya menjelaskan bahwa maksud dari min nafs
wahidah sebagai satu diri, dan satu diri disini yang dimaksud adalah
laki-laki bukan perempuan. Sehingga, apabila dilihat secara bahasa kata زوجها dapat berarti suami atau istri, namun beliau
menafsirkannya sebagai istri. Dalam tafsirnya beliau tidak menjelaskan apakah
satu diri ini adalah Adam, meskipun pendapat mayoritas ulama menyatakan satu
diri tersebut adalah Adam, beliau tetap tidak menyangkal maupun berpendapat
sama seperti kebanyakan mayoritas para ulama.
Walau
hadits tentang penciptaan perempuan berasal dari tulang rusuk adalah shahih dan
para ahli ijtihad tidak membantahnya, tapi masih belum memahamkan bahwa hadits
tersebut bisa menjadi alasan yang tepat untuk mengatakan bahwa Hawa tercipta
dari tulang rusuk sebelah kiri bawah Nabi Adam. Yang dapat diambil dari hadits
tersebut tidak lain adalah tabi’at dari perempuan yang diibaratkan seperti
tulang rusuk. Apabila mereka dikerasi maka akan patah dan apabila dibiarkan
saja maka akan tetap bengkok. Jadi kesimpulan dari ayat ini yaitu bukanlah Hawa
yang diciptakan dari tulang rusuk Nabi Adam, tetapi perangainya yang menyerupai
tulang rusuk.
Dapat
diambil kesimpulan bahwa penciptaan perempuan menurut Hamka bukanlah dari
tulang rusuk Nabi Adam, melainkan dari dzat yang sama dengan penciptaan Nabi
Adam. Asal-usul penciptaan manusia itu adalah satu. Manusia diciptakan dari
sumber yang satu. Perempuan diciptakan dari diri yang sama seperti laki-laki.
Seluruh manusia baik laki-laki maupun perempuan adalah diri yang satu. Nafsin
Wahidatin bukanlah semata-mata tubuh yang kasar, melainkan pengertian
biasa yaitu diri. Diri manusia pada hakikatnya satu, kemudian terbagi menjadi
dua jenis yaitu laki-laki dan perempuan.