Perkembangan zaman tidak menyurutkan pemikiran setiap tokoh dalam mengkaji berbagai hal, termasuk tentang kesetaraan gender yang ramai diperbincangkan akhir-akhir ini. Pembahasan perempuan telah lama digaungkan dalam perkembanagn paradigma pengetahuan islam, namun hingga saat ini, permasalahan yang ada tak kunjung usai. Wacana bahwa perempuan seringkali mendapatkan perlakuan tidak adil dalam strata masyarakat, perempuan seringkali ditempatkan dalam posisi rendah yang bisa diperlakukan semaunya oleh sang pemilik, juga berbagai tindasan-tindasan lainnya membangkitkan gairah beberapa tokoh untuk menegakkan keadilan demi keselamatan perempuan.
Namun sayangnya, ketika
pembelaan-pembelaan tersebut keluar dari mulut seorang yang berjenis kelamin
perempuan, akan dianggap sebagai sebuah kewajaran. Sebaliknya, jika diutarakan
oleh seorang yang berlawanan jenis atau diungkapkan oleh laki-laki, hal
tersebut akan menjadi sebuah wacana menarik untuk dikaji dan direspons dengan baik oleh masyarakat. Maka
kehadiran salah seoarang intelektual muslim yang menuangkan gagasannya tentang
feminisme menjadi satu hal yang disyukuri oleh kaum perempuan. Ia bisa dibilang
sebagai pahlawan pejuang kebebasan perempuan. Dalam artikel penulis
mencoba membaca pikiran Nasr Hamid Abu Zayd tentang gagasan feminisnya.
Terkait pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid mengenai kesetaraan gender
diawali dengan kegelisahannya terhadap al-Qur’an yang dijadikan senjata bagi
satu kelompok unuk menindas kelompok lain. Dalam persfekif gender, ia menyadari
penafsiran ulama klasik seakan merendahkan perempuan. Ia tidak rela jika al-Qur’an dijadikan alat oleh
kaum laki-laki untuk menindas kaum perempuan. Dalam pandangannya, perempuan
setara dengan laki-laki baik dalam hal apapun karena sesungguhnya perempuan
maupun laki-laki merupakan satu entitas sebagai manusia juga hamba Allah SWT.
Ia menyatakan bahwa, ruang bagi manusia (baca: laki-laki dan perempuan) terbuka
lebar dalam berbagai sector kehidupan. Kompetisi tidak lagi didasarkan pada
jenis kelamin, namun kualifikasi akademik dan tingkat profesionalitas orang
tersebut.
Kesadaran Nasr Hamid Abu Zaid akan realita social yang masih saja
mempresepsikan perempuan pada posisi “orang kedua” dalam kearganegaraan hingga
dibatasi perannya dalam ranah public disebabkan oleh kuatnya ideologis
patriarkis dan tafsir teks keagamaan yang sangat bias gender. Makna-makna
patriarkis serta misoginis yang dikalim dari al-Qur’an merupakan hasil dari para mufassir serta bagaimana dan
dalam konteks apa mereka menyimpulkannya. Ia juga mengatakan bahwa hal ini bisa
disebabkan oleh peran masyarkat mufassir dan negara dalam membentuk pengetahuan
mereka. Maka, praktek kebudayaan muslim yang selama ini bersifat patriarkis dan
misoginis bukanlah bersumber dari kitab suci umat islam yaitu al-Qur’an,
melainkan dari penafsiran para mufassirnya.
Namun masalahnya, pemikiran dan gagasan Nasr Hamid seringkali dianggap
berbahaya. Ia harus menelan pahitnya
kehidupan dalam mempertahankan apa yang diyakininya sebagai kebenaran. Kritiknya
atas wacana perempuan di dalam Islam ia tuangkan pada karya monumental berjudul
Dawair al-Khawf: Qiraat fi Khitab al-Mar’ah. Ia menulis kitab ini sebagai bentuk
dekonstruksi atas kedudukan perempuan dalam pandangan mufassir klasik pada saat
itu. Ada satu kalimat yang ia tuliskan dalam mukadimahnya, yaituAl-mararah
wa al -mas’uliyyah (kepahitan dan tanggung jawab) sebagai ungkapan rasa
kecewa atas keadaannya yang begitu pahit akibat pemikirannya tersebut. Namun Naṣr
Ḥamid Abu Zayd bukanlah tipologi intelektual yang muda menyerah dan putus asa atas segala hal yang menimpanya.
Nasr Hamid tidak lelah memperjuangkan sesautu yang menurut fikirannya benar
walaupun harus berhadapan dengan hegemoni kuat dari social kemasyarakatan juga
structural pemerintahan.
Ada beberapa kritik legendaris yang ia turahkan sebagai upaya
dekonstruksi penafsiran ayat-ayat bias gender. Ia bahkan menuliskan prolog
dalam wacana feminismenya dengan meninjau kembali kisanh Nabi Adam dan Hawa
yang telah lama berkembang di kalangan masyarakat. Ia melakukan kritik terhadap
penafsiran Syaikh At-Tabhari karena kisah tersebut dianggap oleh Nasr Hamid Abu
Zaid bersumber dari bible. Kisah inilah awal mula terjadinya bias gender dalam
pandangan masyarakat. Ia juga menyebutkan bahwa dalam penekanan wacana
“ekualitas” dan “kemitraan”, adanya rasa sentralitas laki-laki. Sehingga
paradigm masyarakat tentang kesejajaran antara perempuan dan laki-laki tidak
memungkinkan terjadi karena pada dasarnya memang berbeda. Padahal kesejajaran
perempuan tidak bisa diukur dengan ukuran laki-laki.
Ia juga mengkritik pedas salah satu fatwa yang dikeluarkan Ketua Lembaga dan Kajian
Fatwa, Syekh Abdul Aziz bin Baz di Saudi Arabia tentang perempuan yang bekerja
di luar rumah atau bekerja dalam ranah public. Syaikh Abdul Aziz menuliskan
sebuah artikel dengan judul yang menurut Nasr Hamid tentu sangat melecehkan perempuan
yaitu ‘amal almar’ah min a’zham wasail al-zina (Bekerjanya Perempuan
adalah Jalan Utama Menuju Zina). Tentu hal ini sangat tidak disetujui olehnya.
Ia kemudian menafsirkan ayat-ayat yang berkaitan dengan gender menurut pandangannya serta menggunakan metodologinya sendiri. Naṣr Ḥamid Abu Zaid memperkenal sebuah metode pembacaan al-Qur’an atau penafsiran al-Qur’an yang ia sebut sebagai القراءة السیاقیة (pembacaan kontekstual). Menurut Nasr Hamid, metode analisis bahasa menjadi salah metode humaniora yang mungkin dapat digunakan untuk memahami risalah (pesan) sekaligus memahami pemikiran Islam yang dimaksudkan dengan sangat konferehensif.