Nasr Hamid: Penggagas Kesetaraan Gender

0

 

Perkembangan zaman tidak menyurutkan pemikiran setiap tokoh dalam mengkaji berbagai hal, termasuk tentang kesetaraan gender yang ramai diperbincangkan akhir-akhir ini. Pembahasan perempuan telah lama digaungkan dalam perkembanagn paradigma pengetahuan islam, namun hingga saat ini, permasalahan yang ada tak kunjung usai. Wacana bahwa perempuan seringkali mendapatkan perlakuan tidak adil dalam strata masyarakat, perempuan seringkali ditempatkan dalam posisi rendah yang bisa diperlakukan semaunya oleh sang pemilik, juga berbagai tindasan-tindasan lainnya membangkitkan gairah beberapa tokoh untuk menegakkan keadilan demi keselamatan perempuan.

Namun sayangnya, ketika pembelaan-pembelaan tersebut keluar dari mulut seorang yang berjenis kelamin perempuan, akan dianggap sebagai sebuah kewajaran. Sebaliknya, jika diutarakan oleh seorang yang berlawanan jenis atau diungkapkan oleh laki-laki, hal tersebut akan menjadi sebuah wacana menarik untuk dikaji dan  direspons dengan baik oleh masyarakat. Maka kehadiran salah seoarang intelektual muslim yang menuangkan gagasannya tentang feminisme menjadi satu hal yang disyukuri oleh kaum perempuan. Ia bisa dibilang sebagai pahlawan pejuang kebebasan perempuan. Dalam artikel penulis mencoba membaca pikiran Nasr Hamid Abu Zayd tentang gagasan feminisnya.

Terkait pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid mengenai kesetaraan gender diawali dengan kegelisahannya terhadap al-Qur’an yang dijadikan senjata bagi satu kelompok unuk menindas kelompok lain. Dalam persfekif gender, ia menyadari penafsiran ulama klasik seakan merendahkan perempuan. Ia  tidak rela jika al-Qur’an dijadikan alat oleh kaum laki-laki untuk menindas kaum perempuan. Dalam pandangannya, perempuan setara dengan laki-laki baik dalam hal apapun karena sesungguhnya perempuan maupun laki-laki merupakan satu entitas sebagai manusia juga hamba Allah SWT. Ia menyatakan bahwa, ruang bagi manusia (baca: laki-laki dan perempuan) terbuka lebar dalam berbagai sector kehidupan. Kompetisi tidak lagi didasarkan pada jenis kelamin, namun kualifikasi akademik dan tingkat profesionalitas orang tersebut.

Kesadaran Nasr Hamid Abu Zaid akan realita social yang masih saja mempresepsikan perempuan pada posisi “orang kedua” dalam kearganegaraan hingga dibatasi perannya dalam ranah public disebabkan oleh kuatnya ideologis patriarkis dan tafsir teks keagamaan yang sangat bias gender. Makna-makna patriarkis serta misoginis yang dikalim dari al-Qur’an merupakan  hasil dari para mufassir serta bagaimana dan dalam konteks apa mereka menyimpulkannya. Ia juga mengatakan bahwa hal ini bisa disebabkan oleh peran masyarkat mufassir dan negara dalam membentuk pengetahuan mereka. Maka, praktek kebudayaan muslim yang selama ini bersifat patriarkis dan misoginis bukanlah bersumber dari kitab suci umat islam yaitu al-Qur’an, melainkan dari penafsiran para mufassirnya.

Namun masalahnya, pemikiran dan gagasan Nasr Hamid seringkali dianggap berbahaya.  Ia harus menelan pahitnya kehidupan dalam mempertahankan apa yang diyakininya sebagai kebenaran. Kritiknya atas wacana perempuan di dalam Islam ia tuangkan pada karya monumental berjudul Dawair al-Khawf: Qiraat fi Khitab al-Mar’ah.  Ia menulis kitab ini sebagai bentuk dekonstruksi atas kedudukan perempuan dalam pandangan mufassir klasik pada saat itu. Ada satu kalimat yang ia tuliskan dalam mukadimahnya, yaituAl-mararah wa al -mas’uliyyah (kepahitan dan tanggung jawab) sebagai ungkapan rasa kecewa atas keadaannya yang begitu pahit akibat pemikirannya tersebut. Namun Naṣr Ḥamid Abu Zayd bukanlah tipologi intelektual yang muda menyerah dan  putus asa atas segala hal yang menimpanya. Nasr Hamid tidak lelah memperjuangkan sesautu yang menurut fikirannya benar walaupun harus berhadapan dengan hegemoni kuat dari social kemasyarakatan juga structural pemerintahan.

Ada beberapa kritik legendaris yang ia turahkan sebagai upaya dekonstruksi penafsiran ayat-ayat bias gender. Ia bahkan menuliskan prolog dalam wacana feminismenya dengan meninjau kembali kisanh Nabi Adam dan Hawa yang telah lama berkembang di kalangan masyarakat. Ia melakukan kritik terhadap penafsiran Syaikh At-Tabhari karena kisah tersebut dianggap oleh Nasr Hamid Abu Zaid bersumber dari bible. Kisah inilah awal mula terjadinya bias gender dalam pandangan masyarakat. Ia juga menyebutkan bahwa dalam penekanan wacana “ekualitas” dan “kemitraan”, adanya rasa sentralitas laki-laki. Sehingga paradigm masyarakat tentang kesejajaran antara perempuan dan laki-laki tidak memungkinkan terjadi karena pada dasarnya memang berbeda. Padahal kesejajaran perempuan tidak bisa diukur dengan ukuran laki-laki.

Ia juga mengkritik pedas salah satu fatwa  yang dikeluarkan Ketua Lembaga dan Kajian Fatwa, Syekh Abdul Aziz bin Baz di Saudi Arabia tentang perempuan yang bekerja di luar rumah atau bekerja dalam ranah public. Syaikh Abdul Aziz menuliskan sebuah artikel dengan judul yang menurut Nasr Hamid tentu sangat melecehkan perempuan yaitu ‘amal almar’ah min a’zham wasail al-zina (Bekerjanya Perempuan adalah Jalan Utama Menuju Zina). Tentu hal ini sangat tidak disetujui olehnya.

Ia kemudian menafsirkan ayat-ayat yang berkaitan dengan gender menurut pandangannya serta menggunakan metodologinya sendiri. Naṣr Ḥamid Abu Zaid  memperkenal sebuah metode pembacaan al-Qur’an atau penafsiran al-Qur’an yang ia sebut sebagai القراءة السیاقیة  (pembacaan kontekstual). Menurut Nasr Hamid, metode analisis bahasa menjadi salah metode humaniora yang mungkin dapat digunakan untuk memahami risalah (pesan) sekaligus memahami pemikiran Islam yang dimaksudkan dengan sangat konferehensif.


Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !
To Top