Kepemimpinan Perempuan dalam Literatur Tafsir (Bag I)

0

 


Penafsiran tentang penciptaan Hawa yang berasal dari tulang rusuk Adam tampak mengarah kepada semua penafsiran al-Qur’an tentang hubungan antara perempuan dan laki-laki, termasuk penafsiran tentang kepemimpinan. Dalam ranah kepemimpinan, para mufassir pada umumnya sepakat bahwa Sulaiman dan Balqis merupakan figur pemimpin yang dicontohkan al-Qur’an. Keduanya merupakan representasi kepemimpinan raja dan ratu yang mashur diperbincangkan. Menurut Ath-Thabari, Ratu Balqis digambarkan sebagai pemilik kerajaan yang sangat adidaya atau al-Qur’an membahasakannya dengan kalimat: lahaa ‘arsyun ‘adhiim. Sedangkan Nabi Sulaiman merupakan raja yang memiliki kemampuan berupa: kemampuan melakukan mobilitas sangat cepat, karena ia dapat ‘menaklukan’ angin, kemampuan untuk bekerjasama dengan jin dan burung, kemampuan berkomunikasi dengan hewan dan serangga, serta kemampuan menguasai setan. Dan semua kemampuan itu ia kerahkan untuk menghadapi ratu Balqis.

Kisah tentang kebesaran ratu Balqis diceritakan oleh al-Qur’an dalam surah al-Naml dan al-Anbiya’. Kisah panjang tentang ratu Balqis yang menguasai negeri Saba’ yang makmur tersebut tentu bukan sekadar ‘cerita pengantar tidur’ saja, tetapi kisah yang sarat dengan makna yang dalam sehingga dapat diambil sebagai pelajaran bagi kehidupan umat manusia. Kisah tersebut mengisyaratkan bahwa al-Qur’an mengakui keberadaan perempuan sebagai pemimpin. Al-Qur’an mengingatkan bahwa pernah ada tokoh perempuan yang mengendalikan kekuasaan besar meskipun di sekelilingnya ada banyak sosok laki-laki.

Dalam tafsir al-Qur’an al-‘Adhim karya Ibn Katsir, disebutkan bahwa ada sumber-sumber tradisional yang berupa kisah-kisah rakyat di sekitar Timur Tengah dan Jazirah Arabia tentang asal-usul ratu Balqis. Diceritakan bahwa Balqis merupakan putri Dzu-Syarkh ibn Hudad, seorang Raja Himyerit (Yaman) pada masanya. Ratu Balqis memiliki dewan senat yang terdiri dari tiga rtus dua belas orang laki-laki, masing-masing dari mereka memiliki sepuluh ribu orang pasukan. Kerajaan ratu Balqis terletak di suatu tempat bernama Ma’rib jauhnya tiga mil dari kota San’a. Ahli serajah mengatakan bahwa, singgasana ratu Balqis terbuat dari emas dan dihiasi dengan berbagai macam batu permata serta mutiara. Singgasana tersebut berada di dalam sebuah istana yang sangat besar, kokoh bangunannya lagi tinggi dan megah. Di dalamnya juga terdapat tiga ratus enam puluh jendela di sebelah timur dan barat, tujuannya agar sinar matahari bisa masuk dan terbenam dari jendelanya, kemudian mereka bersujud kepada matahari di setiap pagi dan petangnya. Informasi tersebut diketahui oleh burung hud-hud. Lalu, dibawalah informasi tersebut olehnya kepada nabi Sulaiman. Tak lama kemudian Nabi Sulaiman mengutus burung hud-hud untuk mengirimkan surat kepada ratu Balqis. Isi surat tersebut adalah mengajak ratu Balqis untuk menjalin ‘hubungan diplomatik’. Sebagai seorang ratu yang sangat mengedepankan musyawarah, Balqis tidak langsung mengambil keputusan sendiri. Ia mengajak para pembesar-pembesarnya untuk melakukan musyawarah. Sikap tersebut menunjukkan bahwa ratu Balqis memiliki sikap kepemimpinan yang demokratis, ditunjukkan dengan ayat sebagai berikut:

قَالَتْ يَا أَيُّهَا الْمَلَأُ أَفْتُونِي فِي أَمْرِي مَا كُنتُ قَاطِعَةً أَمْرًا حَتَّىٰ تَشْهَدُونِ

Wahai para pembesar, berilah aku pertimbangan dalam urusan ini, aku tidak pernah memutuskan sesuatu persoalan sebelum kalian berada di dalam majelisku.” (27: 32)

Kemudian para pembesarnya menjawab:

قَالُوا نَحْنُ أُولُو قُوَّةٍ وَأُولُو بَأْسٍ شَدِيدٍ وَالْأَمْرُ إِلَيْكِ فَانظُرِي مَاذَا تَأْمُرِينَ

“Kita memiliki potensi kekuatan dan keberanian, dan keputusan berada di tanganmu, maka pertimbangkanlah apa yang akan kamu perintahkan.”

Dalam hal ini, Nabi Sulaiman pun juga mengajak para pembesarnya untuk bermusyawarah bersama dalam menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang terjadi atas kubu ratu Balqis. Karena memang keduanya sama-sama menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi, yaitu musyawarah. Selain itu, Ibn Katsir dalam kitab tafsirnya, menggambarkan kecerdikan dan ketelitian ratu Balqis. Yaitu tatkala Nabi Sulaiman mengetes ratu Balqis apakah ia mengenali istananya atau tidak, setelah dimodifikasi sedemikian rupa. Nabi Sulaiman bertanya, “Serupa inikah singgasanamu?”. Kemudian ratu Balqis menjawab, “Seakan-akan singgasana ini singgasanaku”. Jawaban ratu Balqis tersebut artinya, mirip dan sangat mendekati singgasananya. Ungkapan tersebut menunjukkan kecerdikan dan kecermatannya.

Kemudian, pada akhirnya, setelah terjadi ‘duel’ keduanya bersatu. Bahkan keduanya melangsungkan pernikahan dan melahirkan generasi baru yang tangguh. Bersatunya raja dan ratu tersebut mendatangkan banyak keuntungan, yaitu rakyat menjadi tenang dan senang, bersatunya kedua kekuatan menjadi lebih besar, terhindar dari malapetaka peperangan, serta terwujudnya stabilitas dan kesejahteraan dalam masyarakat.

Di kalangan mufassir, kenyataan yang diperankan oleh ratu Balqis dan isyarat persamaan hak-hak politik antara laki-laki dan perempuan, sebenarnya menunjukkan bahwa kesesuaian dengan visi dan misi al-Qur’an daripada pemahaman ajaran agama yang cenderung atau secara terang-terangan menolak kepemimpinan kaum perempuan. Sangat berisiko jika ayat-ayat al-Qur’an dan hadits dalam pemahamannya dipaksakan untuk mendukung atau menolak suatu kekuatan politik tertentu, yang sifatnya hanya sementara. Namun, ‘manipulasi’ pemahaman tersebut semakin mendarah daging di alam bawah sadar masyarakat bahwa perempuan tidak layak jika disetarakan dengan laki-laki. Hal tersebut tentu sangat menghambat pengoptimalan potensi perempuan yang merupakan separoh dari sumber daya manusia yang terdiri atas perempuan.

Pemahaman keliru yang membiarkan masyarakat untuk melanggengkan budaya patriarki sudah saatnya dihilangkan. Karena hal tersebut tidak sejalan dengan visi misi yang dibawa oleh al-Qur’an yaitu menjunjung tinggi asas keadilan. Selain itu juga akan menghambat terbentuknya kualitas sumber daya manusia secara maksimal.

Al-Qur’an dengan jelas tidak membenarkan adanya diskriminasi berdasarkan etnik, ras, dan jenis kelamin (49:13). Selain kisah ratu Balqis di atas, al-Qur’an juga menegaskan bahwa kaum perempuan bisa berperan sebagai pemimpin, salah satunya adalah QS. At-Taubah: 21:

”Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

Ayat di atas mengisyaratkan bahwa kemungkinan laki-laki dan perempuan dapat menjadi pemimpin atau beroposisi dalam artian menyeru kepada kebenaran dan mencegah keburukan. Perlu adanya peninjauan ulang terhadap penafsiran yang bersifat menindas atau mengesampingkan peran perempuan karena hal tersebut tidak sejalan dengan visi misi al-Qur’an.

Bersambung…

Waallahu a’lam bi al-shawwab.

Oleh: Endah FitrianingsihSekretaris Umum Kohati-HMI Korkom Walisongo Semarang, Mahasiswa Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, UIN Walisongo Semarang

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !
To Top