![]() |
Ditulis oleh:
Lida Nasrul Amanah
(Ketua Umum Kohati HMI Korkom Walisongo Semarang periode
2019-2020)
Sudah
menjadi rahasia umum bahwa setiap tanggal 21 April masyarakat Indonesia akan
“Libur” sebagai sebuah penghormatan atas jasa R.A. Kartini. Perempuan yang
lahir di Jepara 21 April 1879 ini memiliki peranan penting dalam upaya
mengangkat harkat dan martabat perempuan Indonesia. Sebab, ketika itu sebagian
besar masyarakat Indonesia masih menganut sistem patriarki sehingga lebih
cenderung mendiskreditkan peran perempuan hanya dalam tiga hal, manak,
masak dan macak. Dengan keterbatasan akses dan ruang gerak yang
dirasakan kaum perempuan saat itu, Kartini tetap
bersikeras menyuarakan suara perempuan agar memiliki peran dan hak layaknya
laki-laki, khususnya dalam bidang pendidikan. Oleh karena itu, atas perjuangan
dan kegigihannya, R. A. Kartini dikenang sebagai pahlawan wanita Indonesia
Saat ini kaum wanita sudah dapat merasakan apa yang kartini
dahulu perjuangkan serta pejuang-pejuang wanita yang terus menggelorakan
semangat kartini. Keterbukaan akses
dan ruang gerak perempuan, kesetaraan hak perempuan dan laki-laki dalam dunia
pendidikan sehingga dapat mengeyam pendidikan dengan layak. Selain itu, saat
ini peran perempuan pun tidak hanya berkutat dengan masalah domestik saja.
Perempuan sudah diberikan keluluasaan untuk ikut berpartisipasi dan berperan
aktif dalam ranah publik seperti dapat menjadi pemimpin dan mendapat kursi 30%
di parlemen.
Tentu hal tersebut tidak didapat dengan hanya membalikan
telapak tangan, ada proses panjang dibalik kesuksesan kaum wanita untuk
mendapatkan haknya. Sebab kondisi perempuan saat itu layaknya gajah kecil
dengan tali di leher yang diikatkan ke sebuah pohon. Gajah kecil mencoba
memberontak agar terlepas dari kukungan tali yang terikat di lehernya. Hari
demi hari dan bulan demi bulan gajah kecil terus mencoba, akan tetapi tetap
gagal. Hingga akhirnya si gajah kecil frustasi dan memutuskan menerima
takdirnya untuk tetap terikat oleh tali.
Oleh
karena itu, embrio emansipasi wanita yang dibawa oleh kartini pada saat itu
merupakan suatau gebrakan dan terobosan
yang melampaui zamannya. Hal itulah yang membuat kartini menjadi bersinar dan
berbeda dengan perempuan lainnya.
Kartono
Tidak banyak
orang mengetahui tokoh yang satu ini, yaitu Kartono dengan nama panjang Raden
Mas Panji Sosrokartono, laki-laki jawa tulen seorang ningrat sejati dan putera
dari Raden Mas Ario Sosrodiningrat seorang bupati jepara. Dia adalah kakak dari
tokoh perempuan emansipasi Indonesia, yaitu RA. Kartini.
Tidak kalah
dengan adiknya, kartini. kartono juga memilki kecerdasan yang luar biasa. Salah
satunya adaah mahir berbahasa dalam 34 bahasa, 24 bahasa dan 10 bahasa lokal.
Kemahirannya dalam berbahasa dibuktikan dengan julukan yang diberikan kapten
belanda kepadanya “Si Pangeran Jenius dari Timur”, dibuktikan juga dengan
diutusnya dia ke belanda untuk meliput perang dunia satu (I). Saat itu, Kartono
diamanahi untuk menjadi peliput saat terjadinnya perang dunia I. Bukan hanya
karena kemahirannya dalam berbahas asing, tetapi karena ia dipercayai mempunyai
kekuatan yang tidak dimiliki banyak orang. Dalam bahasa indonesia, kekuatan
asing tersebut dinamai indigo.
Ia
berhasil menjalankan tugasnya dan ia dikagumi banyak orang-orang asing,
khususnya orang Eropa. Pada saat itu, ia dimintai untuk menjadi penerjemah
bahasa. Mulai dari bahsa inggris, belanda, dan lain sebagianya. Karena pada
saat itu, mencari orang yang bisa berbahasa asing di Indonesia layaknya mencari
batu permata di kumpulan batu-batu sungai.
Selain
sebagai wartawan yang cukup disegani oleh orang-orang eropa, Kartono juga
memiliki keahlian sebagai dokter. Pernah suatu hari ketika anak kenalanya sakit
parah ia sangat ingin datang untuk menjenguknya. Saat ia datang , Kartono hanya
menyentuk kening sang anak, ada yang mengatakan diketuk tiga kali, dan seketika
itu pun anak kenalannya sembuh dari penyakitnya.
Belajar dari Kartini
dan Kartono
Meskipun Kartini dan Kartono merupakan
Adik-Kakak, akan tetapi jalan hidup yang mereka tempuh berbeda. Kartini
menjalani hidup yang cenderung lebih melankolis, di banding dengan Kartono yang
lebih hidup akan kaya pengalaman. Hal itu menjadi wajar, sebab saat itu ruang
perempuan masih cukup terbatas ketimbang laki-laki.
Sudah
sepatutnya bagi kita sebagai pemuda-pemudi bangsa ini dapat meneruskan semangat
yang mereka mulai. Apalagi di era sekarang yang membuka luas sekat yang dahulu
menjadi penghalang. Setiap orang bisa berekspresi, bisa menjadi apapun dengan
skill dan kemampuan yang dimilikinya. Kartini memilih bidang pendidikan dan
emansipasi wanita sebagai jalan perjuangannya sedangkan Kartono memilih jalan
dengan menjadi Wartawan sebagai bentuk perjuangannya. Lalu, Bagaimana dengan
“Kamu”?
Selamat
Hari Kartini!!!