![]() |
| Lailatus Syarifah |
Ada
kegalauan luar biasa yang tengah mengepung masyarakat saat ini. Bagaimana
tidak, budaya literasi sedang tidak bersahabat dengan dunia akademisi. Kepungan
teknologi telah menguasai segala aspek kehidupan manusia namun tidak
ditempatkan semestinya. Perkembangan teknologi yang begitu pesat yang
seharusnya berbanding lurus dengan pertumbuhan budaya literasi, namun
kenyataannya malah berbanding terbalik 180 derajat.
Apalagi
ketika dihubungkan dengan budaya literasi di Indonesia, hal ini menjadi miris
sekali. Akademisi zaman sekarang sudah kehilangan budaya literasinya. Budaya
literasi ini tidak hanya berhubungan dengan budaya membaca dan menulis, namun
lebih dalam lagi, yaitu berhubungan dengan daya nalar dan kritis seseorang
dalam menghadapi berbagai macam masalah.
Bahkan
yang lebih mengejutkan lagi, sebuah penelitian yang dilakukan oleh Central
Connecticut State University di New Britain, Conn, Amerika Serikat, menyebutkan
bahwa posisi Indonesia berada pada peringkat ke-60 dari 61 negara. Indonesia
hanya berada pada satu tingkat lebih tinggi dari Botswana yang merupakan negara
miskin di Afrika. Tentunya ini menjadi persoalan mendasar yang akan menjadi
akar dari permasalahan lain.
Salah
satu indikator menurunnya budaya literasi adalah minimnya minat baca pada
generasi muda saat ini. Hal ini dapat kita lihat dari jumlah pengunjung
perpustakaan yang semakin menurun. Jikalau banyak pun, itu disebabkan oleh
tugas akademik yang menuntut akademisi agar menjadikan buku sebagai referensi
utamanya. Sehingga budaya membaca pada zaman sekarang hanya berkisar pada
sektor kewajiban saja bukan pada sektor kebutuhan. Hal ini semakin diperburuk
dengan data yang dihimpun oleh UNESCO, bahwa minat baca orang Indonesia hanya
berkisar sekitar 0,01 %, artinya dari seribu orang hanya ada satu yang membaca
buku.
Membaca
memang tidak hanya melalui buku-buku teks yang sudah di-print out, namun bisa
juga lewat e-book yang
kini sangat mudah didapatkan dan juga portable,
tidak menghabiskan disk
space pada gadget dan bisa dibaca dimanapun serta kapanpun. Namun,
dengan berbagai macam kemudahan itu, tak membuat pemuda masa kini tertarik
untuk menjamah teknologi itu. Mereka lebih tertarik kepada “perselancaran” di
dunia maya, menghabiskan waktu untuk chattingan
dan membuat story
di berbagai macam media sosial yang mereka punya.
Selain
itu, hilangnya kemampuan membaca masalah pada generasi ini juga sangat
terlihat. Hal ini dapat kita lihat dari menurunnya jiwa kritisme anak muda
sekarang yang cenderung cuek dan apatis terhadap masalah yang ada. Mereka
cenderung tertarik untuk menjaga image
di hadapan orang lain, dan merasa bahwa hidup mereka akan terasa kurang
sempurna jika tanpa gaya. Jika dahulu Descartes mengatakan “Aku berpikir maka
aku ada”, mungkin generasi muda saat ini akan mengganti redaksinya menjadi “Aku
bergaya maka aku ada”. Tidak ada yang tidak mungkin bagi generasi sekarang
untuk mengubah apapun dengan sesuka hati mereka.
Teknologi
lagi-lagi menjadi kambing hitam pada permasalahan ini. Terutama daya tarik
gadget yang sangat luar biasa yang mampu mengalihkan perhatian seseorang dari
dunia nyata kepada dunia maya. Namun, tidak bisa kita sepenuhnya menyalahkan
teknologi. Karena sebuah teknologi akan menjadi baik dan bermanfaat jika berada
di tangan orang yang benar, sebaliknya jika teknologi digenggam oleh seseorang
yang salah, maka akhirnya yang terjadi adalah kesalahan pada penggunaan
teknologi itu sendiri. Teknologi yang harusnya akan mempercepat kerja kita,
malah dia menjadi penghambat bagi kemajuan kita.
Untuk
menyelesaikan masalah ini dibutuhkan penangananan yang maksimal. Baik dari
pemerintah sebagai instruktur terhadap kebijakan yang akan dilaksanakan, maupun
dari kaum akademisi yang akan menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sebagai
seseorang yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat nantinya. Jangan sampai kita
menjadi masalah masyarakat yang nantinya akan memberatkan semua pihak, namun
jadilah pribadi yang bermanfaat, berwawasan luas dan jadilah problem solver
bagi setiap permasalahan yang ada.
Untuk
menjadi problem solver
yang baik, tentunya kita dituntut untuk memahami medan permasalahan, salah satu
caranya adalah dengan meningkatkan intensitas membaca, baik melalui buku,
koran, majalah dan sebagainya. Hal ini penting, mengingat buku adalah jendela
dunia, namun jangan lupakan bahwa pengalaman adalah guru terbaik. Sehingga
dipandang perlu untuk mengkorelasikan antara keduanya. Dengan
meningkatkan budaya membaca, dengan perlakuan yang intensif, tentu diharapkan
dapat memperbaiki budaya literasi bangsa kita. Semoga.
