![]() |
Uli Magfiroh |
Globalisasi didefinisikan sebagai proses pengintegrasian
internasional tanpa mengenal batas ruang dan waktu. Dalam kehidupan yang megah
ini bangsa Indonesia tidak hidup sendiri dalam negaranya, melainkan hidup dalam
kesatuan masyarakat dunia yang melakukan proses interdependensi dan juga saling
mempengaruhi satu sama lain. Dengan demikian, tidak ada suatu bangsa yang bisa
hidup tanpa interaksi bantuan dari bangsa lain. Oleh sebab itu, Indonesia juga
menjadi objek sekaligus subjek globalisasi tersebut.
Setelah globalisasi politik dan ekonomi, kini Indonesia
dihadapkan pada globalisasi ketiga, yakni globalisasi budaya. Diminique Wolton,
Kepala Center of National Reseach Scientific (CNRS) Perancis berpendapat bahwa
terbentuknya Perserikatan Bangsa-Bangsa merupakan tanda dimulainya globalisasi
politik, sedangkan globalisasi ekonomi mulai muncul sejak dibukanya perdagangan
bebas pada tahun 70-an. Globalisasi budaya sangat sulit dilakukan, hal ini
karena adanya heterogenitas global.
Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya globalisasi
budaya adalah kecepatan arus informasi dan intensitas komunikasi yang cukup
tinggi. Berkenaan dengan hal ini Wolton tidak sependapat dengan tesis Samuel
Hutington yang mengatakan bahwa masa depan dunia akan diwarnai oleh peradaban.
Padahal bagi Wolton kecepatan arus informasi dan komunikasi, globalisasi
politik dan ekonomi hanya menjadikan dekatnya jarak teritorial, sedangkan
globalisasi budaya memaparkan hal yang lebih, yaitu dapat mengetahui perbedaan
satu sama lain.
Bagi kelangsungan kehidupan manusia, kebudayaan adalah suatu
hal yang bernilai urgen. Kebudayaan merupakan seperangkat gagasan hidup dan
berbagai habits. Kebudayaan dikatakan tidak mampu melaksanakan tugasnya apabila
tidak berhasil menjaga kelangsungan hidup manusia. Hal ini dikarenakan
kebudayaan bukanlah suatu hal yang diwariskan secara biologis, tetapi
kebudayaan adalah hasil studi, maka kelangsungan hidup manusia membutuhkan
proses pewarisan budaya dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Kebudayaan
juga merupakan bentuk adaptasi manusia terhadap lingkungannya, ketika
lingkungan berubah maka kebudayaanpun akan mengalami perubahan.
Ancaman globalisasi terhadap identitas bangsa Indonesia di
antaranya adalah pengaruh budaya luar yang tidak sesuai dengan karakter bangsa
Indonesia, seperti hedonisme, konsumerisme, dan meterialisme. Hedonisme
diartikan sebagai paham yang hanya menganggap bahwa kesenangan, kebahagiaan,
dan kenikmatan adalah tujuan hidup. Kaum yang mengikuti paham ini cenderung
mengeluh dan merasa tidak mau menerima kesusahan, kepahitan, kesengsaraan.
Paham ini akan melahirkan generasi instan dan tidak mau berkerja keras. Mereka
hanya mau enaknya saja.
Berbeda sekali dengan para pendahulu kita yang belum
terpengaruh oleh budaya luar, mereka aktif bekerja keras dan selalu berikhtiar
untuk menemukan sebuah kebahagiaan. Sebagai bangsa yang berbudaya, Indonesia
memiliki pribahasa, yang merupakan filosofi dari budaya bangsa Indonesia, yaitu
“berakit-rakit ke hulu berenang-renang ke tepian, besenang-senang.” Untuk
menggapai kemenangan atau kebahagiaan, sesorang harus berusaha sekuat tenaga
dan bahkan dalam hal tertentu harus berani berkorban demi kemenangan yang
sejati. Ini adalah falsafah agung Indonesia yang berbudaya.
Tantangan selanjutnya yang mesti dihadapi Indonesia adalah
budaya konsumerisme, yaitu sebuah paham yang membawa penganutnya kepada
mentalitas dan gaya hidup boros. Masyarakat dengan gaya konsumerisme
menggunakan habis-habisan barang dan jasa yang tersedia. Kehidupan masyarakat selalu
dihiasi dengan interaksi antara konsumen dan produsen. Ketika terjadi
keseimbangan antara keduanya, maka kehidupan akan berjalan dengan harmonis.
Namun ketika konsumen terlalu boros, akan mengakibatkan ketidakseimbangan, yang
pada akhirnya berdampak pada kerusakan dan kehancuran.
Selain hedonisme dan konsumerisme, materialisme menjadi
tantangan yang tidak kalah penting untuk segera disikapi. Sebuah paham yang
memiliki pandangan bahwa segala sesuatu itu tidak lebih dari sebuah benda atau
barang. Bahkan penganut paham ini memperlakukan manusia sebagai barang dan
benda, lebih jelek lagi mereka memuja barang sebagai tujuan hidup. Tiga
serangkai yakni mentalitas hedonisme, konsumerisme, dan materialisme adalah hal
yang sering berjalan serentak. Kaum yang berpandangan hidup ini sekedar untuk
kenikmatan mencari barang-barang untuk memuaskan dirinya dan implikasinya
adalah sikap konsumeristis.
Salah satu cara Untuk menjaga kelangsungan hidup bangsa
Indonesia agar tidak terpengaruh dan tidak menerima mentah-mentah budaya luar
yang masuk, maka diperlukan kesadaran untuk filterisasi terhadap semuanya.
Setelah itu, perlu rasanya mengingat dan mempelajari lagi filosofi kebudayaan
Indonesia yang telah bertahan secara turun temurun. Falsafah kenbudayaan
Indonesia sesungguhnya bisa didapat dari hasil merenungkan ideologi negara,
yaitu Pancasila. Ia adalah ideologi yang merangkum identitas bangsa. Pancasila
menjadi pedoman bangsa dalam berbagai bidang kehidupan yang berisikan perilaku
dan karakteristik bangsa Indonesia.
Merenungkan kembali bahwa Pancasila dirumuskan oleh pendiri
bangsa sesuai dengan identitas dan jati diri bangsa Indonesia. Nilai-nilai yang
terkandung dalam pancasila harus dijiwai dan diimplementasikan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Agar segala yang ada tetap terjaga eksistensinya dan
mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik. Gerakan-gerakan lain juga perlu
dilakukan, agar budaya-budaya asing yang membuat bangsa ini kehilangan jati
dirinya tidak gampang masuk.
Dengan mementingkan gerakan revitalisasi nilai-nilai
kearifan atau budaya lokal, yaitu salah satu alternatif untuk menghadapi
globalisasi budaya. Budaya lokal merupkan suatu tatanan nilai-nilai,
pandangan-pandangan, ataupun gagasan-gagasan yang terdapat dan dipakai dalam
suatu masyarakat serta diwariskan secara turun-temurun pada generasi
berikutnya. Karena budaya lokal itu sangat sulit untuk dipengaruhi
keberadaannya oleh buadaya luar. Meski terkesan reaktif, paling tidak wacana
ini mampu menarik perhatian bangsa untuk menengok budaya adiulung warisan nenek
moyang. Supaya Bangsa Indonesia dapat mempertahankan keutuhan dan kesatuan
identitas dan karekteristiknya. Wallaahu’alam bi al- Shawaab.
Oleh: Uli Magfiroh, Aktivis Korps HMI-Wati, Mahasiswa
Pendidikan Agama Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang